Di sekolah, guru Geografi menjelaskan bahwa air akan mengalir dari tempat yang tinggi menuju tempat yang rendah. Air sungai berasal dari hulu pegunungan atau perbukitan menuju lautan dan samudera yang luas. Untuk sampai ke lautan dan samudera itu, air harus melewati berbagai rintangan.
Sungai yang berkelok-kelok, bebatuan, deras, terhalang kayu dan sampah-sampah, dan banyak lainnya. Kadang-kadang air terlebih dahulu melewati sekujur tubuh manusia. Air membasuh pori-pori manusia yang tengah mandi di sungai. Setelah itu, baru kembali melanjutkan perjalanannya.
Bagi masyarakat perkampungan, selain sumur, sungai menjadi sumber air untuk memenuhi kebutuhan. Mandi, mencuci, dan mengambil air dengan ember untuk dibawa pulang ke rumah. Air yang dibawa pulang ini tidak bermuara ke laut. Air dalam ember bermuara ke rumah-rumah warga untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Begitu juga dengan cinta. Tidak semua cinta bermuara ke pelaminan. Baru-baru ini seorang teman dekat saya baru mengambil kesepakatan dengan pacarnya (kekasih) untuk mengakhiri hubungannya. Saya tidak tahu alasan dan memang bukan urusan saya untuk mengetahuinya, kecuali kalau teman saya ini mau bercerita kepada saya.
Padahal telah banyak yang dilalui bersama. Telah banyak uang yang dikeluarkan untuk penunjang hubungan itu. Telah banyak waktu dan tenaga yang digunakan dalam hubungan itu. Sayang sekali, hubungan itu tidak sampai ke pelaminan. Hubungan putus di pinggir jalan (maaf saya tidak menggunakan tengah jalan).
Cinta tidak ada bedanya dengan halte bus, terminal, stasiun, pelabuhan, dan bandara. Cinta hanya tempat pemberhentian menuju tempat pemberhentian lain. Berpacaran lalu putus, mendapatkan kekasih baru putus lagi, bertemu lagi dengan yang baru putus lagi, dan begitulah seterusnya. Hubungan seperti itu tidak ada bedanya dengan halte, terminal, stasiun, pelabuhan, dan bandara.
Pemberhentian seperti ini akan membuang uang, tenaga, dan waktu saja. Tidak dapat dipungkiri setelah sampai di terminal kita berbelanja. Saya ingat ketika saya dan keluarga pergi ke Jakarta. Waktu itu pesawat terbang tidak semudah yang sekarang. Dari kampung halaman menuju Jakarta tidaklah singkat. Banyak tempat pemberhentian.
Di setiap tempat pemberhentian, sopir dan penumpang banyak menghabiskan waktu untuk beristirahat. Selain itu, belanja ini dan itu membuat uang harus keluar. Apalagi tenaga, tidak diragukan lagi. Banyak yang terkuras. Hal hasil, ketika sampai di Jakarta, selama satu hari hanya beristirahat di dalam rumah saja karena badan letih, lelah, dan kecapean.
Sekarang, lebih banyak memilih pesawat terbang daripada bus. Saya juga tidak bisa menyalahkan fenomena-fenomena putus-nyambung ini. Setiap orang pasti ingin mendapatkan yang terbaik. Mungkin pada saat pacaran itu melihat kecocokkan. Melihat kekurangan dan kelebihan satu sama lain.
Satu hal yang ingin saya katakan bahwa siapapun yang menjadi pendamping hidup anda nanti pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Saya lebih menekankan pada kekurangan. Kelebihan tidak akan menimbulkan persoalan. Keretakkan suatu hubungan lebih banyak diakibatkan oleh kekurangan daripada kelebihan.
Mempelajari kekurangan seseorang lebih baik daripada mempelajari kelebihannya. Resiko yang harus ditanamkan sebelum menjalin suatu hubungan (baik pertemanan, persahabatan, pacaran, dan menikah) ialah menerima kekurangan dan dampaknya. Sebelum pernikahan berlangsung seharusnya anda telah bisa menerima kekurangan dari calon pasangan anda. Dengan demikian, keretakkan dan angka perceraian akan berkurang.
Menerima kekurang lebih sulit daripada menerima kelebihan seseorang. Akan tetapi, yang menentukan keberlanjutan suatu hubungan ialah sukses atau tidak suksesnya dalam menerima kekurangan dan dampaknya. (Luh Sumilir)
Baca juga :
Kotak Seserahan
Kotak Hantaran
Baca juga :
Kotak Seserahan
Kotak Hantaran