Manusia dalam hidupnya selalu berproduktifitas. Salah satu tujuan manusia hidup adalah menghasilkan sesuatu. Oleh karena produktifitas yang melekat pada manusialah sehingga manusia dikatakan makhluk yang berbudaya. Budaya dalam artian menghasilkan, mencipta berupa karya, baik dalam bentuk tulisan, ukiran, lukisan, pahatan, sampai pada wilayah-wilayah lainnya. Manusia pekerja adalah manusia yang berproduktifitas. Apapun profesi manusia semuanya berproduktifitas. Hal ini dalam rangka menunjang kehidupan di dunia.
Di dalam berproduktifitas maka dibutuhkan sarana dan prasarana yang menunjang demi kelancaran keproduktifitasan. Sarana dan prasarana ini disebut juga dengan fasilitas. Menurut Zakiah Daradjat, fasilitas adalah segala sesuatu yang dapat mempermudah upaya dan memperlancar kerja dalam rangka mencapai suatu tujuan. Meminimalisir kesulitan, efektif dan efesiensi waktu, dan tentu berujung pada meningkatnya produktifitas.
Akan tetapi, bukan berarti tanpa fasilitas manusia tidak dapat berproduktifitas. Mari kita kembali membaca sejarah manusia di masa lalu. Produktifitas juga dapat dilakukan dalam keterbatasan fasilitas. Di zaman berburu, nenek moyang kita masih dapat hidup dalam memenuhi kebutuhannya. Bagaimana mereka mancari makan dengan cara berburu dalam keadaan fasilitas yang serba terbatas patut kita ambil hikmahnya. Dengan menggunakan peralatan seadanya dari benda berupa batu, kapak batu, mereka masih dapat hidup dengan cara berburu. Keterbatasan membuat mereka kompak dan jiwa sosial mereka sampai pada puncak yang tinggi. Sifat individual tidak akan dapat membuat mereka bertahan hidup lebih lama.
Agak maju daripada itu, mari kita lihat peninggalan-peninggalan sejarah. Mari kita renungkan Candi Borobudur, Prambanan, Piramida di Mesir, Tembok Raksasa di Cina, Menara Pisa, dan banyak peninggalan menakjubkan lainnya. Semua orang di dunia mengakui kemegahan dan ketakjuban hasil cipta manusia di masa yang lalu itu. Telah banyak para arkeologi dan para peneliti yang meneliti sejarah pembuatan bangunan yang megah tersebut. Pada intinya, bangunan tersebut dihasilkan dalam keadaan fasilitas yang serba terbatas.
Selain itu, setiap provinsi di Indonesia memiliki rumah adat daerah masing-masing. Semua rumah adat mencerminkan budaya setiap daerah yang penuh dengan filosofi kehidupan masyarakat yang menciptakannya. Kita ambil contoh rumah adat Minangkabau, yaitu rumah adat yang dinamakan dengan Rumah Gadang. Ketika kita berkunjung ke Rumah Gadang, pernahkah kita memikirkan bagaimana cara pembuatannya dan terpikirkah apa filosofi yang dikandung oleh ukiran-ukiran, bentuk, dan fungsi-fungsi dari setiap sisi Rumah Gadang tersebut? Lalu, siapakah yang membuat Rumah Gadang?
Yang pastinya tentu orang-orang tua di Minangkabau yang terdahulu. Lalu, apakah mereka membuat dalam keadaan fasilitas yang terbatas? Setiap kita berani mengatakan bahwa mereka membangun Rumah Gadang dalam keadaan fasilitas yang terbatas. Namun, dalam keadaan fasilitas terbatas tidak membuat semangat, pemikiran, dan keintelektualan mereka terhambat.
Dari setiap sisi Rumah Gadang, kita dapat mengetahui bahwa orang-orang dahulu adalah orang-orang yang berproduktifitas tinggi. Pemikiran, semangat, dan keintelektualan mereka dalam berkarya terlihat dari setiap sisi Rumah Gadang yang mereka buat. Dalam proses pembuatan mereka juga terkendala dalam masalah fasilitas. Namun, sekali lagi mereka berproduktiftas dalam keterbatasan.
Ada beberapa nilai yang tumbuh yang membuat mereka di zaman dahulu dalam keadaan keterbatasan dapat menciptakan karya-karya besar. Selain keintelektualan alami yang dimiliki oleh orang terdahulu, mereka memiliki nilai semangat yang tinggi, kerjasama yang hebat, rasa sosial, rasa cipta yang tinggi, dan rasa kebersamaan yang tumbuh di kala itu. Sekarang, dalam keintelektualan yang tinggi, fasilitas yang lengkap, rasa sosial, kebersamaan, rasa cipta yang tinggi, kita tercemari oleh kepentingan individu. Itulah salah satu penyebab kita tidak dapat berproduktifitas tinggi dalam keadaan dilengkapi fasilitas dan teknologi.
Selain itu, dibutuhkan sosok penguasa yang memiliki nilai seni yang tinggi yang dapat mengarahkan rakyatnya untuk mencipta sesuatu yang dapat dikenang masa. Penciptaan bangunan megah berupa Candi Borobudur, Tembok Raksasa Cina, dan Piramida di Mesir tidak lepas dari kekuasaan penguasa di masa itu yang menginginkan diciptakannya bangunan tersebut.
Begitu juga sebagian orang dalam dunia kerja. Produktifitas banyak yang berkurang. Padahal segala fasilitas mereka telah lengkap dengan berbagai macam bentuk, seperti ruangan ber-AC, memliki WIFI, dan terdapatnya kompensasi atas kerja mereka. Namun, produktifitas mereka tidak digerakkan oleh rasa tanggung jawab yang dimunculkan dari dalam diri mereka, tetapi oleh faktor eksternal berupa takut pada atasan dan bila ada tunjangan tambahan. Kinerja buruk tersebut dapat dilihat dari seringnya terlambat masuk kantor, pulang ingin cepat, bekerja kalau diawasi atasan, dan ingin bekerja santai, tetapi banyak uang.
Tidak hanya dalam dunia kerja, sebagian pelajar dan mahasiswa juga mengalami distorsi produktifitas. Padahal fasilitas belajar dan kampus telah disediakan, seperti bus sekolah, bus kampus, ruangan belajar yang nyaman, perpustakaan yang lengkap, terdapatnya WIFI, ruangan internet, dan banyak fasilitas lain. Akan tetapi, pelajar dan mahasiswa masih banyak yang malas, tidak mau belajar, masih tumbuhnya budaya contek, plagiat, dan mentalitas yang tidak baik. Sebagian pembaca mungkin menyatakan hal ini masih bersifat relatif. Namun, dalam kerelatifan terdapat kecenderungan yang dapat dilihat dan dibuktikan dengan fakta-fakta yang ada.
Untuk itu, fasilitas memang tidak menjamin produktifitas, baik dalam hal berkarya, bekerja, belajar, dan dalam hal lainnya. Padahal konsep teori produksi mengatakan bahwa fasilitas dapat meningkatkan produktifitas kerja. Kita tidak membantah konsep ini. Yang perlu dilakukan kemudian hari adalah bagaimana memanfaatkan fasilitas dan menanamkan kesadaran pada setiap indvidu akan nilai sosial, rasa cipta, berkarya, berproduktifitas, dan tanggung jawab dalam belajar, berkarya, dan bekerja. (Teguh)