Cerpen- Mestinya seorang laki-laki yang belum menikah tak boleh terlalu lama tinggal di lingkungan perempuan. Dengan terlibat banyak hidup dengan perempuan akhirnya tak ada lagi yang menarik dari perempuan. Terutama sisi buruk perempuan yang selama ini tak terkuak, tertutup rapat-rapat seperti emas yang tersimpan dalam peti. Memang tidak semua seperti ini, tapi aku hidup dalam kenyataan yang ada.
Di balik pintu-pintu kamar kos yang tak kuketahui keadaan dalamnya, aku menyadari aku telah menyukai seorang perempuan di salah satu pintu yang bernomor ganjil. Aku menyukainya karena dia membuat suatu perbedaan. Memasuki rentang waktu dua bulan semenjak pindah ke tempat kakek karena suatu alasan yang tak dapat kujelaskan, aku mengetahui banyak hal tentang perempuan. Kepindahan yang tak kuharapkan. Sejauh ini, aku tak heran lagi melihat kelakuan para perempuan yang bermacam-macam.
Sudah satu jam hujan belum juga reda. Aku asyik membaca sebuah buku yang baru kupinjam tadi siang di perpustakan Fakultas. Sepanjang aku menikmati bacaan, aku tak peduli siapa yang lalu lalang keluar masuk pagar halaman kos. Memang ini belum terlalu malam. Lagipula, butiran hujan jatuh membuat pemandangan tidak begitu jelas. Aku hanya melihat beberapa bayangan kelam dari tadi melintas pagar. Aku tak peduli siapa yang masuk. Aku mengira bahwa itu bayangan penghuni kos yang tak jelas.
Satu jam kemudian yang melintas pagar telah sepi. Sekitar dua atau tiga orang yang melintas keluar masuk pagar masih begitu tidak jelas. Hujan sudah mulai agak reda. Tiba-tiba lampu mati. Aku tak kaget lagi dengan hal seperti ini. Lampu sering mati karena daya listrik tak mencukupi kebutuhan.
“Siapa yang menyetrika, siapa yang memasak, tolong dihentikan”, suara sepupuku yang masih kecil. Sepupuku memang sering berteriak-teriak seperti itu agar yang sedang menyetrika, memasak, atau yang sedang memakai listrik terlalu berlebihan agar berhenti. Beberapa saat setelah suara seperti itu lampu akan menyala. Ah, kali ini aku agak kesal, lampu belum juga menyala. Padahal sepupuku sudah berteriak-teriak. Mungkin ada yang salah, pikirku.
Aku meletakkan buku dan menyandarkan kepala ke kursi sambil melepas penat. Dalam keadaan gelap aku menggeliat-geliat melepas penat. Memecingkan mata dalam kegelapan dan menghirup udara malam. Dan tiba-tiba suara keras mengejutkan. Bukan suara sepupuku yang sudah kukenal.
“Siapa itu?”, teriak suara dalam kegelapan.
Aku kaget dan aku rasa penghuni lain juga kaget. Aku berdiri dan berjalan keluar dalam kegelapan. Mendekati suara yang kukenal. Ternyata suara kakek yang mengejutkan semua penghuni kos.
Tiba-tiba, seorang laki-laki dalam kegelapan keluar dari salah satu kamar kos. Merasa dirinya dibentak, laki-laki dalam kegelapan itu terkejut dan takut.
“Siapa kamu? Malam-malam masuk ke sini”, tanya kakek dengan membentak.
Aku berlari ke tempat kakek.
“Saya mengatar Galon Pak!”, sahut laki-laki yang sudah keluar dari kamar. Tiba-tiba lampu menyala. Suasana sedikit menegang. Cahaya lampu membuat jelas wajah laki-laki yang keluar dari kamar perempuan tadi.
“Saya mengantar galon Pak”, jawab laki-laki itu sekali lagi.
Ah, semua penghuni kos yang tadinya keluar kamar menarik napas lega. Kejadian ini seolah-olah tak ada yang salah, semua diam, semua menganggap tak ada peristiwa yang melanggar aturan. Ya, laki-laki dilarang masuk dalam lingkungan kos, selain keluarga. Teman laki-laki tidak boleh. Yang ketahuan akan dimarahi, bisa saja berujung dengan pengusiran.
Kakek yang tadi marah-marah langsung berubah drastis. Kembali ke kamarnya dengan keadaan diam seolah-olah tak terjadi peristiwa yang sangat mengkhawatirkan. Semua kembali ke kamar masing-masing. Satu persatu pintu terkunci. Aku kembali dengan pikiran yang tak menentu dan menyimpan segudang pertanyaan yang tak tahu akan kuajukan pada siapa.
Ah, aku cemburu pada pengantar galon yang dengan leluasa masuk ke dalam kamar perempuan. Cemburu itu muncul pada pagi, siang, sore, dan terlebih pada malam hari seusai kejadian dalam kegelapan yang meributkan dan mengejutkan itu. Aku akan cemburu bila ada lelaki yang mengantar salah satu perempuan, perempuan yang kamarnya bernomor ganjil, yang di depan kamarnya ada pohon rambutan. Aku akan selalu merindukan musim rambutan datang. Kesal muncul dalam hatiku ketika kakek berniat hendak menebang pohon rambutan. (Teguh)