Kota yang Kejam

Cerpen - Aku punya tetangga baru. Rumah yang tadinya kosong sekarang telah berpenghuni. Penghuni sebelumnya sangat kukenal baik. Penghuni yang lama pindah karena sepasang suami istri tersebut telah pensiun. Kota tak baik untuk sepasang suami yang telah pensiun. Apalagi mereka tak dikarunia anak. Hari-hari pensiunan mereka akan  terasa hampa. Mereka lebih memilih kembali ke kampung halaman. Kembali hidup dengan sanak keluarga di kampung halaman. 

Untunglah semasa jaya dulu sepasang suami istri tersebut membuat rumah di kampung halamannya. Hubungan dengan sanak famili masih mereka jaga sehingga mereka tak canggung untuk kembali ke kampung. Kota hanya tempat singgah sementara. Kita dilempar ke kota dan dikembalikan setelah kita dirasa tak berguna lagi. Kita kembali memadati celah-celah kampung yang dulu pernah ditinggalkan.

Suatu hari, ketika kota tak memerlukan aku lagi, barangkali dengan tak segan akan melemparkanku kelak ke kampung. Aku akan bernasib sama dengan tetangga lamaku. Yang membedakan kami hanya waktu. Dia lebih dulu meninggalkan kota. Tetangga baruku ini suatu saat nanti juga akan begitu. Lalu, siapakah penghuni tetap kota ini? Barangkali hanya tikus-tikus penghuni selokan di kota ini. Mungkin mereka juga ingin kembali ke kampung, hanya saja tak ada jalan yang mengantarkan mereka menuju ke sana. Mereka tentu cemburu pada tikus kampung yang dengan leluasa memakan padi, jagung, dan tanaman petani lain.
***
Sudah dua bulan, aku juga belum mengenal tetangga baruku ini. Aku terlalu sibuk dengan kesibukkan sendiri. Tetangga baruku juga begitu. Pagi hari mereka pergi dan baru pulang ketika aku sudah terlelap. Dalam keadaan terlelap, lebih tepatnya antara sadar dan tidak sadar aku mendengar pilunya bunyi pagar tetangga baruku itu. Mungkin pagar itu lebih tua usianya daripada penghuni rumah itu. Kurasa beberapa tahun lagi pagar itu diganti. 

Bedanya dengan tetangga yang dulu ialah tetangga baruku ini mempunyai anak. Namun, sekali lagi aku belum mengenal utuh keluarga tersebut. Besok adalah hari libur. Hari di mana kota akan sedikit lengang. Para pekerja akan banyak menghabiskan waktu di rumah. Dengan alasan tersebut, besok aku akan berkunjung ke rumah mereka. Soal bagaimana memulai percakapan itu tidak menjadi persoalan. Aku mudah akrab dengan orang baru.

Pagi itu cukup cerah untuk sebuah perkenalan. Lelaki yang sebaya dengan ayahku ini terlihat asyik membersihkan halaman rumahnya. Singkat kata, lelaki itu bernama Amin. Aku memanggilnya bapak karena itu sangat pantas untuk seusianya. Saat aku masuk ke dalam pagar dia masih asyik dengan pekerjaannya.

Dia terkejut ketika aku menyapanya. Tak lama kemudian, aku telah akrab. Bapak Amin bekerja di dinas pendidikan. Istrinya hanya seorang ibu rumah tangga dan anak sulungnya sebaya denganku. Hanya saja, ketika aku berkunjung ke sana, anak sulungnya tersebut sedang tak berada di rumah.

Sejak saat itu  aku mengenalnya dengan baik. Begitu juga dengan anak sulungnya. Kadang-kadang kami ke kampus bersamaan. Aku juga sering main ke rumahnya. Mungkin karena itu, tanpa disadarai kami berdua telah dihinggapi oleh perasaan yang tak biasa. 
“Aku sering pindah rumah”, tuturnya padaku. 
Ayahnya sering dimutasi sehingga dia juga kena batu untuk pindah. Dia pindah dari kota yang satu ke kota yang lain. 
Aku pernah bertanya, “Apakah kau merasakan hal yang berbeda di setiap kota yang kau diami?”, tanyaku. Dia hanya tersenyum. “sama saja”, jawabnya. “Aku hanya berpikir, kota manakah yang akan kudiami lagi setelah aku menetap di sebuah kota. Tapi, kali ini aku merasakan sesuatu yang berbeda”, ungkapnya. “Kenapa?”, tanyaku penasaran. “Aku merasa tidak akan pindah lagi”, terangnya.
Sudah tiga tahun dia menjadi tetanggaku. Sudah tiga tahun juga kami memiliki perasaan yang tak biasa. Kota ini yang mempertemukan dan menyatukan kami. Datanglah suatu hari yang berbeda. Hari di mana aku mulai resah. Suatu kejadian yang membuatku bertanya-tanya. Malam itu kudengar keributan. Keributan yang tak biasanya terjadi. Dari dinding ini, aku mendengar tangisan seorang perempuan. Aku tahu pemilik tangisan itu karena aku tahu siapa saja perempuan yang ada di balik sana. Aku akan menanyakan perihal keributan tersebut pada orang yang tak biasa itu.

Tak seperti yang kuharapkan. Dia hanya diam. Seolah hanya rumah itu dan seisinya yang tahu perihal keributan itu. Aku tak ingin memaksa untuk mengetahuinya. Hanya saja, semenjak kejadian itu dia lebih banyak diam dari yang biasanya. Kurasa ada yang tak beres. Sebab, dia tak lagi terbuka seperti yang dulu. Beberapa hari setelah itu, kami jarang bertemu. Walaupun tak ada yang membatasi rumah kami, kecuali hanya dinding. Dinding yang juga sudah mulai kusam.
***
Rumah itu seakan tak berpenghuni. Diam, setelah keributan itu. Hanya bunyi pagar rumahnya yang masih berderik pilu karena belum juga diganti. Kejadian itu telah sebulan berlalu. Situasi tetanggaku itu masih sama. Pak Amin sudah jarang terlihat keluar membersihkan pekarangan rumahnya. Dia hanya terlihat ketika hendak pergi bekerja saja. Setelah masuk rumah maka rumah itu seakan tak berpenghuni lagi. 

Besok aku akan keluar kota. Hanya beberapa hari. Dengan tak ada perasaan janggal, aku pergi tanpa beban. Aku benar-benar menikmati perjalanan ke luar kota itu. dan ketika aku kembali  maka sungguh merasa tak kuat dan tak percaya dengan apa yang kulihat dan kusaksikan. Kota ini telah menemukan korban selanjutnya. Kota ini telah mengusir tetanggaku. Tidak hanya tetanggaku, tapi pujaan hati yang kucintai. Pagar itu masih berderik dengan bunyi yang sama. 

Bunyi yang memilukan hati. Mungkin, inilah titik didih pilu yang tertinggi. Aku tak sesedih ini sebelumnya ketika tetanggaku yang sebelumnya pergi. Tetanggaku yang dulu, dia pergi untuk kembali ke kampung karena pensiun dari pekerjaannya. Akan tetapi, kepergian tetanggaku yang kali ini sungguh berbeda. Dia pergi meninggalkan cinta. Dia pergi tidak tahu entah kemana. Kota kembali memakan korban.
***
Beberapa hari setelah kepergian itu, rumah tetanggaku itu dikelilingi garis polisi. Entahlah, barangkali kepergiannya ada hubungannya dengan semua ini. Aku mengurung diri di dalam kamar. Aku tak berani menatap rumah itu. Rumah itu menyimpan kenangan. Ketika malam tiba, suara pilu pagar itu berbunyi. Kurasa, bukan pagar itu yang berderik, tapi hati ini. Sebulan setelah itu, aku dibangunkan ibu. Ibu bilang, ada tetangga baru. Entah kenapa, aku kembali tidur dan tak berminat berkenalan dengan tetangga baruku yang kali ini. Suara pilu pagar tak berbunyi sepilu dulu. Barangkali pagarnya telah diganti. (Teguh Al Ikhsan)

***


Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Back to top