Bangsa Indonesia mengobarka semangat
perjuanga mempertahankan kemerdekaan melalui aktivitas diplomasi dan perjuangan
bersenjata dengan strategi gerilya. Bentuk perjuanga diplomasi ditujukan untuk
memperoleh perdamaian dan meraih dukungan internasional atas kemerdekaan dan
kedaulatan Republik Indonesia.
a.
Diplomasi
Indonesia Menghadapi Sekutu dan NICA
1) Perjanjian Linggajati (25 Maret 1947)
Kedatangan Sekutu di Indonesia yang
dibonceng NICA berakibat timbulnya pertempuran di berbagai daerah. Setelah
lebih dari satu tahun berdinas di Indonesia, Inggris mengambil kesimpulan bahwa
sangketa Indonesia-Belanda tidak mungkin diselesaikan lewat kekuatan senjata.
Pihak Inggris kemudian berusaha mempertemukan kedua belah pihak yang
bersengketa.
Perundingan genjatan senjata pertama
antara Indonesia, Sekutu, dan Belanda diselenggaraka di Jakarta pada 20-30
September 1946. Perundingan ini tidak mencapai hasil yang diharapkan. Meskipun
demikian, kemudian Inggris mencoba mempertemukan kembali pidak pihak yang
bertikai dengan mengirim diplomat, Lord Killearn. Utusan Inggris ini berhasil
membawa wakil wakil Indonesia dan Belanda kemeja perundingan di Jakarta pada 7
Oktober 1946. Delegasi Indonesia diketuai Perdana Menteri Sutan Syahrir,
sedangkan delegasi Belanda dipimpin Prof. Schermerhorn.
Perundingan tersebut menghasilka
persetujuan yang isinya sebagai berikut.
a)
Diberlakukannya gencatan senjata antara
Indonesia, Belanda, dan Inggris.
b)
Dibentuk sebuah Komisi dan Gencatan Senjata
untuk mengawasi pelaksanaan gencatan senjata.
Atas
dasar perundingan terebut, sejak 24 Oktober 1946 pasukan Sekutu (Inggris dan
Australia) mulai mengosongkan daerah daerah yang didudukinya. Secara berangsur
angsur pasukan Sekutu ditarik dari Bogor, Palembang, Medan, Padang, dan tempat
lainnya. Pada akhir November 1946, seluruh pasukan Sekutu telah meninggalkan
Indonesia.
Sebagai
kelanjutan perundingan sebelumnya, pada 10-15 November 1946 dilangsungkan
perundingan di Linggajati, dekat Cirebon. Perundingan ini menghasilkan
keputusan sebanyak 17 pasal yang intinya sebagai berikut.
a)
Belanda mengakui de facto Republik Indonesia
dengan wilayah kekuasaan yang meliputu Sumatra, Jawa dan Madura.
b)
Republic Indonesia dan Belanda akan bekerja sama
membentuk Negara Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat yang
salah satu bagiannya adalah Republik Indonesia.
c)
Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan
membentuk Uni Indonesa-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.
Hasil
persetujuan Linggajati ditandatangani wakil wakil Indonesia dan Belanda di
Istana Rijswijk (sekarang Istana Merdeka) pada 25 Maret 1947. Delegasi
Indonesia yang membubuhkan tanda tangan tersebut ialah Sutan Syahrir, Mr. Moh,
Mr. Soesanto Tirtoprojo, dan dr. A.K. Gani. Dari pihak Belanda ialah Prof.
Schermerhorn, Dr. van Mook, dan van Poll. Peristiwa ini disaksikan tokoh
penengah dari Inggris, Lord Killearn.
Setelah
Belanda mengakui wilayah de facto RI,
beberapa negara segera menyampaikan pengakuan atas kedaulatan RI. Negara negara
itu, antara lain Inggris, Amerika Serikat, Mesir, Lebanon, Suriah, Afganistan,
Birma (Myanmar), Saudi Arabia, Yaman, Rusia, Pakistan, dan India. Negara negara
tersebut lantas membuka perwakilan konsuler dinegara RI. Kondisi seperti itu
telah memperkuat kedudukan RI dimata dunia Internasional.
Didalam
negeri, hasil persetujuan Linggajati disikapi pro dan kontra dikalangan anggota
KNIP. Pihak yang pro merasa puas karena kedaulatan Indonesia mulai diakui dunia
internasional kendati hanya meliputi Sumatra, Jawa, dan Madura. Selain itu,
gencatan senjata amat diperlukan bangsa Indonesia guna memberi peluang kepada
pihak militer melakukan konsolidasi terhadap pasukannya yang terpencar pencar
akibat agresi militer Belanda. Sebaliknya, pihak yang kontra tetap ingin
mengusahakan agar Belanda mengakui RI secara utuh. Pergulatan politik
menyangkut perbedaan pendapat mengenai hasil persetujuan Linggajati menyebabkan
jatuhnya Kabinet Syahrir. Selanjutnya, Presiden Soekarno menugaskan Amir
Syarifuddin membentuk cabinet baru.
2) Perjanjian Renville (17 Januari 1948)
KTN merupakan misi PBB yang bertugas
mencari penyelesaian damai atas pertikaian Indonesia-Belanda. Atas usul KTN
disepakati perundingan RI-Belanda dilakukan di atas sebuah kapal pengangkut
pasukan Angkatan Laut Amerika Serikat, yakni USS Renville yang sedang berlabuh
di Teluk Jakarta. Perundingan ini dimulai pada 8 Desember 1947. Delegasi RI
dipimpin Mr. Amir Syarifuddin, sedangkan Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir
Wijoyoatmojo (orang Indonesia yang memihak Belanda).
Setelah melalui pembicaraan yang panjang,
Persetujuaan Politik Renville ditandatangani pada 17 Januari 1948. Isi pokok
Persetujuan Renville, yakni sebagai berikut.
a)
Disetujuinya pelaksanaan gencatan senjata.
b) Disetujuinya sebuah demarkasi yang memisahkan
wilayah RI dan daerah pendudukan Belanda.
c) TNI harus ditarik mundur dari daerah daerah
kantongnya diwilayah pendudukan di Jawa Barat dan Jawa Timur ke daerah RI di
Yogyakarta.
Persetujuan
Renville menempatkan RI pada kedudukan yang sulit. Wilayah RI makin sempit dan
dikurung oleh daerah daerah pendudukan Belanda. Kesulitan bertambah dengan
dijalankannya blockade ekonomi Belanda terhadap wilayah RI. Persetujuan
Renville kenyataannya telah merugikan bangsa Indonesia. Persetujuan itu
mengundang reaksi keras dari para tokoh RI. Akibatnya, cabinet Amir Syarifuddin
tidak mendapat kepercayaan dari rakyat. Amir Syarifuddin akhirnya jatuh dari
kedudukannya sebagai perdana menteri.
3) Perundingan Roem-Royen (7 Mei 1949)
Dalam upaya mencari penyelesaian
pertikaian Indonesia-Belanda akibat agresi militer kedua Belanda. Dewan
keamanan PBB memerintahkan UNCI untuk merealisasi resolusi tertanggal 28
Januari 1949. Pada intinya resolusi tersebut menyerukan kepada pihak yang
bertikai untuk mengehentikan semua aktivitas militernya.
Pada 17 April 1949 dimulailah perundingan
pendahuluan di Jakarta. Perundingan ini dipimpin Merle Cochran selaku wakil
Amerika Serikat dalm UNCI. Delegasi Indonesia diketuai Mr. Moh Roem, sedangkan
pihak Belanda diketuai Dr. van Royen. Dalam perundingan selanjutnya, delegasi
Indonesia diperkuat Drs. Mohammad Hatta dan Sri Sultan Hamengkubowono IX.
Setelah melalui perundingan yang berlarut
larut, pada 7 Mei 1949 tercapai persetujuan diantara kedua belah pihak.
Persetujuan ini terkenal dengan nama Persetujuan Roem-Royen. Isi pokok
persetujuan tersebut adalah sebagai berikut.
a)
Pernyataan Delegasi Indonesia
(1)
Mengeluarkan perintah kepada TNI untuk
menghentikan perang gerilya.
(2)
Bekerja sama mengembalikan perdamaian,
ketertibana, dan keamanan.
(3) Ikut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den
Haag dalam upaya mempercepat penyerahan kekuasaan dan kedaulatan kepada negara
Indonesia Serikat secara lengkap dan tanpa syarat.
b)
Pernyataan Delegasi Belanda
(1)
Menyetujui kembalinya pemerintahan Republik
Indonesia ke Yogyakarta.
(2)
Menjamin penghentian gerakan militer dan
membebaskan semua tahanan politik.
(3)
Tidak akan mendirikan negara negara didaerah
yang dikuasi RI dan tidak akan memperluas negara atau daerah dengan merugikan
pihak RI.
(4)
Menyetujui adanya RI sebagai bagian dari Negara
Indonesia Serikat.
(5)
Berusaha sungguh sungguh menyelenggarakan
Konferensi Meja Bundar.
4) Konferensi Inter-Indonesia (19 Juli 1949)
Sebelum Koferensi Meja Bundar (KMB)
dilaksanakan, para pimpinan RI melakukan pendekatan politik dengan BFO.
Tujuannya agar RI dan BFO sama memadukan kekuatan nasional untuk menhadapi
Belanda.
Diantara 19-22 Juli 1949 di Yogayakarta
dan 31 Juli-2 Agustus di Jakarta, dilangsungkannya Konferensi Inter-Indonesia.
Konferensi ini dihadiri wakil wakil RI dan para pemimpin BFO. Konferensi
berhasil mengambil keputusan sebagai berikut.
a) BFO mengakui bahwa Ngera Indonesia Serikat (NIS)
akan menerima kedaulatan dari Belanda da RI.
b) Menyetujui pembentukan Komite Persiapan Nasional
yang terdiri dari RI dan BFO yang bertujuan mengoordinasikan seluruh persiapan
dan kegiatan selama dan sesudah KMB serta sebagai lembaga pusat yang menjamin
hubungan RI dengan BFO.
c) Negara bagian tidak akan memiliki tentara yang
terpisah pisah.
d) BFO mendukung tuntutan RI supaya penyerahan
kedaulatan menjadi nyata, tanpa syarat, serta tanpa ikatan politik dan ekonomi.
5) Konferensi Meja Bundar (KMB)
Setelah berhasil menyelesaikan masalahnya
sendiri, bangsa Indonesia siap menghadapi Konferensi Meja Bundar (KMB). RI dan
BFO bersiap diri memenangkan pertarungan diplomasi menghadapi Belanda yang akan
disaksikan wakil wakil dari UNCI.
KMB berlangsung pada 23 Angustus-2
November 1949 di Den Haag, Belanda. KMB dipimpin Perdana Menteri Belanda Dr.
Willem Drees. Delegasi Indonesia diketuai Drs. Mohammad Hatta dengan delegasi
BFO diketuai Sultan Hamid II. Delegasi Belanda sendiri diketuai Mr. van
Maarseveen. UNCI diwakili oleh Chritchley.
KMB berlangsung lama dan sangan a lot.
Dua masalah pokok yang sulit dipecahkan dalam konferensi tersebut menyangkut
masalah berikut.
a)
Masalah Uni Indonesia Belanda.
Indonesia menginginkan uni yang sifatnya hanya kerja sama
bebas, sedangkan Belanda menghendaki uni yang bersifat permanen.
b)
Soal utang Hindia Belanda
Indonesia mengakui utang Hindia Belanda sampai menyerahnya
Belanda kepada Jepang. Sementara itu, Belanda menghendaki Indonesia mengambil
alih semua utang Hindia Belanda sampai saat berlangsungnya konferensi.
Setelah melalui perundingan berlarut
larut, akhirnya semua pihak yag menghadiri konferensi mengeluarkan kesepakatan.
a) Belanda akan mengakui kedaulatan politik
Republik Indonesia Serikat (RIS) pada akhir bulan Desember 1949.
b)
Status Irian Barat akan ditunda setahun sesudah
pengakuan kedaulatan.
c)
Dibentuk Uni Indonesia-Belanda berdasarkan kerja
sama suka rela dan sederajat.
d)
RIS harus membayar semua utang Hindia Belanda
sejak tahun 1942.
e) Pasukan Belanda Koninlkijk (KL) dan Koninklijk
Miletaire (KM) akan dipulangkan, KNIL akan dibubarkan, dan bekas anggota
KNIL diperbolehkan menjadi Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS).
Hasil hasil KMB kemudian diajukan kepada
KNIL untuk diratifikasi. Untuk keperluan ini, KNIP menyelenggarakan sidang pada
6-14 Desember 1949. Dalam sidang ini diadakan pemunguta suara dengan hasil 226
suara yang menyatakan setuju,62 suara tidak setuju, dan 31 abstain. Dengan
demikian KNIP menerima hasil hasil keputusan KMB.
b.
Diplomasi Indonesia Dukungan Internasional
Salah satu bentuk perjuangan bangsa
Indonesia adalah berusaha menarik dukungan internasional lewat PBB. Para
pimpinan Indonesia berusaha memengaruhi dunia agar peduli terhadap perjuangan
mempertahankan kemerdekaan sekaligus medapat dukungan serta pengakuan atas kedaulatan
Republik Indonesia. Para pimpinan Indonesia menyadari bahwa PBB merupakan
organisasi internasional yang mempunyai pengaruh besar terhadap dunia. Oleh
karena iitu, mereka memanfaatkan PBB agar menggunakan peran dan pengaruhnya
dalam menyelesaikan pertikaian Indonesia-Belanda. Perjuangan menarik dukungan
lewat PBB ditempuh melalui dua bentuk, yaitu sebagai berikut.
1) Perjuangan para pemimpin Indonesia dalam sidang
sidang PBB.
2) Perjuangan menarik dukungan negara negara lain
agar turut memperjuangkan Indonesia dalam sidang sidang PBB.
Perjuangan
menarik dukungan internasional menampakkan hasilnya. Banayk negara didunia,
terutama negara negara di Aasia yang menaruh simpati atas masalah yang dihadapi
Indonesia. Usulan penyelesaian masalah
Indonesia-Belanda disampaikan melalui PBB. PBB ternyata cukup respek terhadap
tugasnya menyelesaikan konflik di Indonesia. Buktinya, PBB telah mengirimkan
Komisi Jasa Baik (Committer of God Office)
yang dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN) pada peristiwa agresi militer
pertama Belanda dan membentuk United
Nations Commisions for Indonesia (UNCI) ketika terjadi agresi militer
kedua.
1)
Peranan
PBB melalui KTN
Agresi militer pertama Belanda di
Indonesia mendatangkan reaksi keras dari dunia internasional. Wakil wakil India
dan Australia di PBB mengajukan resolusi agar persoalan Indonesia dibahas dalam
Dewan Keamanan PBB. Resolusi tersebut mendapat tanggapan positif PBB dengan
menjadikan masalah Indonesia sebagai salah satu agenda pembicaraannya. Pada 1
Agustus 1947 Dewan Keamanan PBB memerintahkan kepada Indonesia dan Belanda
untuk menghentikan tembak menembak. Hal itu ditindaklanjuti dengan pengumuman
gencatan senjata oleh kedua pihak yang bertikai sejak 4 Agustus 1947.
Pelaksanaan gencata senjata akan diawasi
oleh suatu Komisi Konsuler yang beranggotakan beberapa Konsul Jendral di
Indonesia. Komisi Konsuler itu diketuai oleh Konsul Jendral Amerika Serikat,
Dr. Walter Foote dan beranggotakan Konsul Jendral Cina, Belgia, Prancis,
Inggris, dan Australia. Namun, meskipun telah ada gencatan senjata, dalam
kenyataannya Belanda masih terus berusaha memperluas wilayahnya. Pelanggaran
ini dilaporkan Komisi Konsuler (pengawas gencatan senjata Indonesia-Belanda)
kepada PBB. Laporan ini ditanggapi Dewan Keamanan PBB dengan membentuk sebuah
Komisi Jasa Baik yang terkenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN).
Komisis Tiga Negara terdiri atas tiga
negara berikut ini.
a)
Autralia diwakili Richard Kibry yang dipilih
mewakili kepentingan Indonesia.
b)
Belgia diwakili Paul van Zeeland yang dipilih
mewakili kepentingan Belanda.
c)
Amerika Serikat dipilih Australia dan Belgia
sebagai pihak netral dan wakilnya, Dr. Frank Graham.
Pada
27 Oktober 1947 KTN tiba di Jakarta untuk memulai pekerjaannya. KTN kemudian
berhasil melakukan pendekatan pendekatan terhadap pihak pihak yang bertikai.
Sejak 8 Desember 147 sampai 17 Januari 1948 wakil wakil Indonesia dan Belanda
bisa duduk bersama melakukan dialog dalam Perundingan Renville. Dilangsungkan
Perundingan Renville menandai berakhirnya akibat agresi militer pertama Belanda.
2)
Peranan
PBB melalui UNCI
Ketika Belanda melancarkan agresi militer
yang kedua pada 19 Desember 1948, dunia internasional lagsung mengecam tindakan
tersebut. Birma dan India kemudian memprakarsai penyelenggaraan Konferensi Asia
di New Delhi pada 20-23 Januari 1949. Konferensi yang dihadiri sejumlah negara
Asia, Afrika, Dan Autralia itu menghasilkan resolusi yang disampaikan kepada
PBB. Keesokkan harinya Dewan Keamanan PBB langsung melakukan sidang yang
membahas resolusi tersebut.
Dalam pertemuan pada tanggal 28 Januari
1949, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang berisi sebagai berikut.
a) Penghentian semua operasi militer Belanda dan
penghentian semua aktivitas gerilya.
b) Pembebasan semua tahanan politik RI oleh
Belanda.
c) Belanda harus member kesempatan kepada para
pemimpin RI untuk kembali ke Yogyakarta.
d) Perundingan perundingan baru akan dilakukan di
bawah pengawasan PBB.
e) Komisi Tiga Negara (KTN) diubah namanya menjadi United Naations Commisions for Indonesia (UNCI).
Setelah
UNCI terbentuk, UNCI segera melakukan pembicaraan dengan Presiden Soekarno dan
Wakil PRESIDEN Moh. Hatta di pengasingan. Selain itu, UNCI juga melakukan
tekanan terhadap Belanda agar menghentikan agresi militernya dan mengembalikan
para pimpinan RI ke Yogyakarta. Akhirnya, pihak Indonesia dan Belanda bersedia
berunding kembali di Jakarta pada 17 April 1949 dan 7 Mei 1949. Perundingan ini
diketuai oleh Merle Cochran (Amerika Serikat), sedangkan delegasi Indonesia
ialah Mr. Moh. Roem dan delegasi Belanda, Dr. van Royen. Perundingan Roem-Royen
kemudian dapat mengakhiri pertikaian Indonesia-Belanda dalam agresi militer
kedua Belanda.
Selanjutnya :
Berakhirnya Konflik antara Indonesia-Belanda
Selanjutnya :
Berakhirnya Konflik antara Indonesia-Belanda